SYARAT - SYARAT DAN ADAB
BAGI SEORANG MUFASSIR
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Al – Qur’an Hadits
Dosen Pengampu : H.
Munjahid, S. Ag, M. Ag
KELOMPOK 4:
1.
NURUL SULISTIYANINGSIH (13820070)
2.
YOGI YULIANSYAH (13820073)
3.
DORA MUSTIKASARI (13820075)
PERBANKAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
Menjadi
seorang mufassir tentu tidaklah mudah diperlukan beberapa keahlian khusus yang
harus dimiliki dan dipahami oleh seorang mufassir. Dalam hal penafsiran Al –
Qur’an mufassir dituntut untuk menafsirkan Al – Qur’an sesuai dengan makna yang
terdapat didalamnya. Selain itu dalam penyampaiannya haruslah tepat dan tidak
mengandung beberapa kata atau kalimat yang tidak sesuai dengan makna
sebenarnya.
Sebelum
menfasirkan sesuatu seorang mufassir harus terlebih dahulu mengetahui apa saja
ilmu-ilmu yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan ilmu untuk menfasirkan
sesuatu. Selain itu terdapat
syarat-syarat dan juga adab-adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar
hasil tafsirannya sesuai yang diharapkan.
Oleh
karena itu kami membuat makalah ini agar para pembaca mengetahui apa saja
syarat dan adab menjadi seorang mufassir. Selain itu pembaca diharapkan memahami
syarat dan adab tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
PENGERTIAN TAFSIR
DAN MUFFASIR
Tafsir ialah menerangkan
makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya
.
Lafal dengan makna ini disebutkan
di dalam QS. Al-Furqan: 33 :
|
|
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang
kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu
suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”
|
Menurut kamus besar bahasa
Indonesia tafsir berarti keterangan atau penjelaskan tentang ayat – ayat Al –
Qur’an agar lebih mudah dipahami. Sedangkan penafsiran adalah proses, cara,
perbuatan menafsirkan atau upaya untuk menjelaskan sesuatu yang kurang jelas.
Sedangkan Ilmu tafsir adalah ilmu
yang membahas tentang nuzulul quran keadaaan-keadaanya, kisah-kisahnya,
sebab-sebab turunnya, tertib makiyah dan madaniyahnya.
Menurut Ibnu Hayan ilmu tafsir
ialah ilmu yang membahas cara membunyikan lafal-lafal Al-Quran dan madlul-madlulnya
(yaitu ilmu lughah). Baik mengenai kata-kata tunggal maupun dalam susunan
tarkib dan ahkamnya (di sini mencakup ilmu tafsir, i’rab, bayan, dan badi’) dan
makna-maknanya yang dikandung oleh keadaan susunan (mencakup segala dalalah
yang menunjukkan hakikat dan majaz) dan beberapa kesempurnaan seperti
mengetahui nasakh, sabab nuzul, kisah yang menyatakan apa yg tidak terang
(mubham), di dalam Al-Quran dan lain-lain yang mempunyai hubungan dengannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa
tafsir adalah suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami dan mengeluarkan
hukum yang terkandung dalam suatu ayat al-Qur’an agar dapat diaplikasikan
sebagai dasar utama penetapan hukum.
Demikian definisi tafsir yang
dikemukakan oleh para ulama. Tafsir adalah aktifitasnya sedangkan pelakunya
disebut sebagai mufassir.
Jadi Mufassir adalah orang-orang
yang menafsirkan al-qur’an. Sedangkan ilmunya disebut dengan ilmu tafsir yaitu
ilmu yang digunakan oleh seseorang mufassir sebagai alat untuk menafsirkan
sesuatu ayat dari ayat-ayat Al-Qur’an.
II.
ILMU – ILMU YANG
DIPERLUKAN OLEH SEORANG MUFASSIR
Ilmu – ilmu yang harus dimiliki oleh seorang yang ingin
menjadi mufassir
a.
Lughat Arabiyah : Dengan dialah diketahui syarah kata – kata
tunggal. Kata Mujahid : “ orang yang tidak mengetahui seluruh bahasa Arab,
tidak boleh baginya menafsirkan Al-Qur’an.
b.
Undang – undang bahasa
Arab, yaitu undang – undang/ aturan –atutrannya, baik mengenai kata –kata
tunggalnya, maupun mengenai tarkib – tarkibnya. Tegasnya mengetahui ilmu
tashrif dan ilmu nahwu.
c.
Ilmu Ma’ani, Bayan, dan
Badi’. Dengan ilmu ma’ani diketahui khasiat – khasiat susunan pembicaraan dari
jurusan memberi pengertian. Ilmu bayan bermanfaat untuk penyusunan kata. Ilmu
badi’ bermanfaat untuk alur pembicaraan.
d.
Dapat menentukan yang
Mubham, dapat menjelaskan yang mujmal dan dapat mengetahui sebab nuzul dan
nasakh.
e.
Mengetahui ijmal, tabyin,
umum, khusus, itlaq, taqyid, petunjuk suruhan, petunjuk larangan dsb.
f.
Ilmu kalam.
g.
Ilmu qira’at. Dengan ilmu
qira’at dapat diketahui bagaimana kita menyebut kalimat – kalimat Al – Qur’an.
III.
SYARAT – SYARAT BAGI
SEORANG MUFASSIR
Menjadi seorang mufassir tidaklah mudah diperlukan
keahlian khusus untuk
dapat menafsirkan Al-Qur’an atau Hadits diantaranya ilmu lughah,
ilmu nahwu,dan ilmu sharaf. Selain itu untuk
bisa menafsirkan Al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kriteria diantaranya:
a.
Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat
pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.
b.
Tidak dengan hawa nafsu
semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri
tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya
untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
c.
Mengikuti urut-urutan dalam
menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah,
perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
d.
Faham
bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa
arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an)
jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
e.
Memiliki pemahaman yang
mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan
nusus syari’ah.
f.
Faham dengan pokok-pokok
ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu
nahwu (grammer),
al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan
dari suatu kata ke kata yang lainnya),
al-ma’ani,
al-bayan, al-badi’, ilmu
qiroat
(macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah,
ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui
nasikh wal mansukh,
fiqh,
hadits, dan lainnya yang
dibutuhkan dalam menafsirkan.
Manna’ al-Qathan menjelaskan
beberapa syarat yang harus dimiliki seorang mufassir, yaitu:
a.
Akidah yang benar. Akidah
mempunyai peranan yang sangat besar terhadap jiwa pemiliknya. Ketika ia
mempunyai akidah yang melenceng, tentu saja ia akan menafsirkan
Al-Quran dengan berbagai penyimpangan, yang nantinya merusak pemahaman akan
Al-Quran itu sendiri.
b.
Bisa menguasai hawa nafsu.
Tidak jarang hawa nafsu menjadi pemicu pemiliknya untuk membela kepentingan
mazhabnya.
c.
Menafsirkan lebih dahulu
Al-Quran dengan Al-Quran.
d.
Menafsirkan Al-Quran dengan
Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Qur’an dan penjelasnya.
e.
Menafsirkan Al-Quran dengan
pandangan para sahabat jika tidak didapatkan penafsiran dalam Al-Quran dan
sunnah.
f.
Menafsirkan Al-Quran dengan
pandangan tabi’in (apabila tidak menemukan penafsiran dalam Al-Quran, Sunnah maupun
dalam pandangan para sahabat)
g.
Mempunyai pengetahuan
bahasa Arab.
h.
Memliki pengetahuan tentang
prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran, seperti qiraat, ushul
al-tafsir, asbab nuzul, nasikh mansukh ayat, dsb.
i.
Pemahaman yang
cermat.
Dari beberapa syarat di atas hal yang paling penting bagi
seorang mufassir antara lain :
a.
Harus memiliki aqidah yang
benar.
b.
Tidak dikuasai nafsu
ananiyah, ‘asabiyah dan lain-lain.
c.
Mengetahui ilmu bahasa
Arab dan cabang-cabangnya.
d.
Faham secara mendalam dan
dapat mengistimbatkan makna sesuai dengan nash syari’ah.
IV.
ADAB – ADAB BAGI
SEORANG MUFASSIR
Dalam Kamus Bahasa Indonesia adab sendiri
mempunyai arti budi pekerti yang halus dan akhlak yang baik.
Dengan
demikian dapat diartikan bahwa adab yaitu tingkah laku yang baik. Sedangkan
adab mufassir diartikan dengan tingkah laku seseorang yang hendak menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan kata lain seorang mufassir boleh menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’anapabila memiliki adab yang telah ditentukan oleh para
ulama’.
Imam suyuti
mengatakan ,”Ketahuilah bahwa seseorang yang tidak dapat memahami wahyu Allah
dan tidak akan terlihat rahasia olehnya rahasia-rahasianya sementara
didalam hatinya terdapat bid’ah, kesombongan dan hawa nafsu, cinta dunia, gemar
melakukan dosa, lemah iman, bersandar pada mufassrir yang tidak memiliki ilmu
atau merujuk pada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan penghalang yang
sebagiannya lebih kuat dari pada sebagian yang lain. Inilah makna
firman Allah ta’ala:
“Aku akan
memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan
yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap
ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang
membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka
melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah
karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.”(QS.
Al-A’raf: 146)
Maksud ayat diatas adalah
pemahaman mereka mengenai akal yaitu penafsiran akan diambil oleh allah karena
sifat sombong mereka yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang mufassir.
Selain itu adab yang harus dimiliki seorang mufassir
adalah:
a.
Niatnya
harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan
tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang
diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam
Nawawy dalam buku Arba’in nya).
b.
Berakhlak
mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
c.
Mengamalkan
ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan
penerimaan yang lebih baik.
d.
Hati-hati
dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya
terlebih dahulu kebenarannya.
e.
Berani
dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
f.
Tenang dan tidak
tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian.
Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai
dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari
sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri
dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada.
Dalam
kamus al-Munawir, adab mempunyai arti aturan, tata
krama atau kesopanan.
Sedangkan
dalam Kamus Bahasa Indonesia adab sendiri mempunyai arti budi pekerti
yang halus dan akhlak yang baik.
Dengan
demikian dapat diartikan bahwa adab yaitu tingkah laku yang baik. Sedangkan
adab mufassir diartikan dengan tingkah laku seseorang yang hendak menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan kata lain seorang mufassir boleh menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’anapabila memiliki adab yang telah ditentukan oleh para
ulama’.
Adab
merupakan salah satu syarat bagi mufassir dalam aspek kepribadian. Yang
dimaksud aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyyah yang harus
dimiliki oleh seorang mufassir agar menjadi layak dalam menjelaskan suatu
hakikat dari al-Qur’an terhadap orang yang kurang mengetahui. Menurut Mana’
al-Qatthan diantara adab mufassir adalah sebagai berikut:
a.
Berniat baik dan bertujuan
benar.
Seorang mufassir
harus memiliki niat dan tujuan yang baik, karena segala sesuatu itu bergantung
pada niat, maka dari itu selayaknya mufassir telah menata niatnya sebelum mulai
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini juga di arahkan supaya mufassir
menjauhkan diri dari tujuan-tujuan duniawi yang akan mendatangkan madlorot bagi
dirinya sendiri.
b.
Berakhlak baik
Diumpamakan
seorang mufassir adalah seorang pendidik atau guru yang dipanuti, karena itu
sebagai seorang yang dianut, maka orang tersebut harus mempunyai perangauiyang
baik dan sopan, agar para penganutnya merasa benar telah mempercayai apa yang
telah diajarkan oleh guru mereka. Akhlak yang baik dan akhlak yang
buruk, merupakan dua jenis tingkahlaku yang berlawanan dan terpancar daripada
dua sistem nilai yang berbeda. Kedua-duanya memberi kesan secara langsung
kepada kuwaliti individu dan masyarakat. lndividu dan masyarakat
yang dikuasai dan dianggotai oleh nilai-nilai dan akhlak yang baik akan
melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitulah sebaliknya jika
individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai dan tingkahlaku yang
buruk, akan porak peranda dan kacau balau.
c.
Taat dan beramal
Karena ilmu lebih dapat diterima melalui orang yang
mengamalkannya. Perilaku mulia sang penafsir akan menjadi panutan yang baik
bagi pelaksanaan masalah-masalah agama yang ditetapkannya.
d.
Berlaku jujur dan teliti
dalam penukilan.
Karena ilmu lebih dapat diterima melalui orang yang
mengamalkannya. Perilaku mulia sang penafsir akan menjadi panutan yang baik
bagi pelaksanaan masalahmasalah agama yang ditetapkannya.
e.
Tawadlu’ dan lemah lembut.
Karena kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh yang
menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
f.
Berjiwa mulia.
Seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari hal‐hal yang remeh serta tidak mendekati
dan meminta‐minta
kepada penguasa.
g.
Vokal dalam menyampaikan
kebenaran
Karena jihad yang paling utama adalah menyampaikan
kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim.
h.
Berpenampilan baik sehingga
dapat memberikan kesan wibawa yang dapat menjadikan mufasir berwibawa dan
terhormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk,
berdiri, dan berjalan.
i.
Tenang dan mantap
Mufassir hendaknya tidak tergesa‐gesa dalam bicara, tapi
henndaknya ia berbicara dengan tenang, mantap dan jelas kata demi kata.
j.
Mendahulukan orang yang
lebih utama dari pada dirinya.
Seorang mufassir harus hati‐hati menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai,
menghargainya dan belajar darinya.
k.
Mempersiapkan dan menempuh
langkah-langkah penafsiran secara ilmiah dan sistematik seperti memulakannya
dengan menyebut asbab al-nuzul, arti perkataan, menerangkan susunan perkataan,
memberi penerangan kepada aspek-aspekbalaghah dan i`rab yang
mana penentuan makna bergantung kepadanya, menjelaskan makna umum dan
menghubungkannya dengan kehidupan sebenarnya yang dialami oleh umat manusia
pada masa itu serta membuat kesimpulan dan menentukan hukum.
BAB III
PENUTUP
Tafsir ialah menerangkan
makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya. Ilmu
tafsir adalah ilmu yang membahas tentang nuzulul quran keadaaan-keadaanya,
kisah-kisahnya, sebab-sebab turunnya, tertib makiyah dan madaniyahnya. Mufassir
adalah orang-orang yang menafsirkan al-qur’an.
Ilmu – ilmu yang harus dimiliki oleh seorang yang ingin
menjadi mufasir
antara lain:
a.
Lughat Arabiyah.
b.
Undang – undang bahasa
Arab.
c.
Ilmu Ma’ani, Bayan, dan
Badi’.
d.
Dapat menentukan yang
Mubham, dapat menjelaskan yang mujmal dan dapat mengetahui sebab nuzul dan
nasakh.
e.
Mengetahui ijmal, tabyin,
umum, khusus, itlaq, taqyid, petunjuk suruhan, petunjuk larangan dsb.
f.
Ilmu kalam.
g.
Ilmu qira’at.
Selain itu untuk bisa
menafsirkan Al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kriteria
diantaranya:
a.
Beraqidah shahihah.
b.
Tidak dengan hawa nafsu
semata.
c.
Mengikuti urut-urutan dalam
menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah,
perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
d.
Faham bahasa arab dan
perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab.
e.
Memiliki pemahaman yang
mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan
nusus syari’ah.
f.
Faham dengan pokok-pokok
ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an.
Manna’ al-Qathan menjelaskan
beberapa syarat yang harus dimiliki seorang mufassir, yaitu:
a.
Akidah yang benar
b.
Bisa menguasai hawa nafsu
c.
Menafsirkan lebih dahulu
Al-Quran dengan Al-Quran.
d.
Menafsirkan Al-Quran dengan
Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Qur’an dan penjelasnya.
e.
Menafsirkan Al-Quran dengan
pandangan para sahabat jika tidak didapatkan penafsiran dalam Al-Quran dan
sunnah.
f.
Pemahaman yang cermat
g.
Menafsirkan Al-Quran dengan
pandangan tabi’in (apabila tidak menemukan penafsiran dalam Al-Quran, Sunnah
maupun dalam pandangan para sahabat)
h.
Mempunyai pengetahuan
bahasa Arab.
i.
Memliki pengetahuan tentang
prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran, seperti qiraat, ushul
al-tafsir, asbab nuzul, nasikh mansukh ayat, dsb.
Selain itu adab yang harus dimiliki seorang mufassir
adalah:
a.
Niatnya harus bagus, hanya
untuk mencari keridloan Allah semata
b.
Berakhlak
mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
c.
Mengamalkan
ilmunya
d.
Hati-hati
dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya
terlebih dahulu kebenarannya.
e.
Berani
dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
f.
Tenang dan tidak
tergesa-gesa terhadap sesuatu
Menurut Mana’ al-Qatthan diantara adab mufassir adalah
sebagai berikut:
a.
Berniat baik dan bertujuan
benar.
b.
Berakhlak baik
c.
Taat dan beramal
d.
Berlaku jujur dan teliti
dalam penukilan.
e.
Tawadlu’ dan lemah lembut.
f.
Berjiwa mulia.
g.
Vokal dalam menyampaikan
kebenaran
h.
Berpenampilan baik
i.
Tenang dan mantap
j.
Mendahulukan orang yang
lebih utama dari pada dirinya.
k.
Mempersiapkan dan menempuh
langkah-langkah penafsiran secara ilmiah dan sistematik
DAFTAR PUSTAKA
Muchotob Hamzah, (2003), Studi
Al-Qur’an Komprehensif ,Yogyakarta: Gama Media
M. Alfatih Suryadilaga dkk, (2010),
Metodologi ilmu tafsir , Yogyakarat: Teras
Muhammad Abu Salma, (2009), Sejarah
Tafsir dan Perkembangannya, Islam House.com
Hasbi Ash Shiddieqy, (1992), Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang
Mana’ Khalil al-Qatthan, (2009),
Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (terj.) Mudzakir AS, Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa
Ahmad Warson Munawir, (2002),
al-Munawir: Kamus Bahasa Arab, Surabaya: Pustaka Progresif
Tim penyusun kamus pusat bahasa, (2008),
Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa
Muchotob Hamzah, Studi Al-Qur’an Komprehensif
(Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm.
239.
Muchotob Hamzah, Studi Al-Qur’an
Komprehensif (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 239.
M. Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi
ilmu tafsir ,(Yogyakarat:teras,2010), hlm. 27.
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 206-207
Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus Bahasa Indonesia ,(Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), hlm. 9.
Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus
Bahasa Indonesia(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 9.
Mana’ Khalil al-Qatthan, Mabahis
fi ‘Ulum al-Qur’an (terj.) Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2009), hlm. 465.